Jumat, 16 Juli 2010

kajian ilmiah


KAJIAN BUDAYA : FENOMENA BUSANA BERJILBAB
” ALA MUSLIMAH” DAN ” ALA MODE” DI KAMPUS

Oleh :
Mohammad Thoyib )
Abstrak

Fenomena-fenomena mahasiswi berbusana muslim dan busana mode berjilbab dapat ditafsirkan bermacam-macam. Batas-batas karakteristik busana berjilbab dari dimensi ala muslimah berdasarkan norma agama dalam Al Qur’an, Al Hadits, fatwa ulama’ telah diatur dan sesuai norma kepribadian muslim yang mengarah pada akhlakul karimah (kepribadian yang mulia). Batas-batas karakteristik busana berjilbab dari dimensi mode, berkembang sesuai dengan derasnya perkembangan kebudayaan, dan cepatnya teknologi, informatika dan komuniasi, melalui situs pornografi, banyak berkembang meracuni niali-nilai ajaran syar’i muslimah.
Fenomenologi busana berjilbab ber-ala muslimah dan ber-ala mode di kalangan kampus, akibat dari lemahnya penyaringan baik secara eksplisit aturan yang lemah maupun kepribadian yang kurang menggunakan filter nilai-nilai religi normatif dalam kehidupan sosio-kulturalistis, kerancuan penerapan ideologi dalam batas instabilitas dalam insan agamis. Aternatif upaya-upaya apa yang dapat dilakukan untuk mengembalikan pada nilai fungsi busana berjilbab pada nilai-nilai islami dengan peraturan/undang-undang, penanaman nilai-nilai hukum syar’iyah, networking dalamsosialisasi dan pembelajaran insan muslimah.




1. PENDAHULUAN
a. Latar belakang
Perkembangan seni dan budaya yang berkembang selepas masa Renaissance yang merupakan tonggak kebebasan berekspresi manusia dalam menuangkan nilai-nilai karya seni kreatif berkembang sangat pesat bahkan lebih hebatnya dapat dinyatakan berkembang lebih dahsyat. Sebagaimana suntikan lubang “lumpur Lapindo” yang tak mampu untuk dibendung. Realitas sejarah ini ternyata tidak hanya dirasakan, dinikmati dan diekspresikan oleh para seniman atau kreator seni yang berhaluan fine art(seni murni) saja. Jika seniman dalam isme fine art tentu saja tidak perlu heran atau kaget jika berkreasi lukisan, dekorasi eksterior dan interior, pemahat, desainer, musisi ataupun aktor-aktris dan para pekerja seni murni, yang memang mereka menciptakan seni berfungsi untuk dinikmati dari sektor.
Dalam kawasan pengetahuan, ilmu, agama, dan seni mempunyai ruang gerak dan filosofi yang berbeda. Tetapi memasuki pruralitas, heterogenitas dan perkawinan budaya yang luar biasa tidak dapat memisahkan norma-norma sosio-cultural yang mendeformasi the art for art menjadi usefull-art dengan segala makna dan nuansa religius, artistik, unik, menarik dan berdaya guna untuk dinikmati secara bebas.
Pembahasan abstraktif di atas kita persempit pada realitas dunia dalam fenomena mode busana berjilbab ala kampus yang nge-trend saat ini.
Mengamati busana mahasiswi di kampus saat ini, baik di kampus yang bernuansa religius maupun kampus umum tidak ada bedanya dalam pembahasan ini. Kalaupun ada perbedaannya dalam limit yang sangat tipis.
Pada saat ini fenomena-fenomena mahasiswi berbusana muslim dan busana mode berjilbab dapat ditafsirkan bermacam-macam. Permasalahan yang timbul dari akibat derasnya budaya berjilbab khususnya di kampus ini diklasifikasikan dalam dua seegmen/unsur/mode, gaya atau ala yaitu :
Pertama : berbusana dengan berjilbab berlandaskan nilai-nilai syariat agama (Islam) bertujuan menjalankan norma-norma ajaran religius, menutup aurat, menampilkan daya tarik dakwah islamiyah, memegang teguh tuntunan agama, membatasi dalam ruang gerak psikologis dan fisiologis dalam rangka dzikrullah (mendekatkan untuk selalu mengingat akan Allah SWT) dan memberikan pelajaran kepada masyarakat akan pentingnya nilai-nilai busana yang sinergis dengan situasi keanggunan (nilai diri lahiriyah) performansi/ penampilan para pemeluknya. Karakteristik busana dalam mode pertama ini lebih mengutamakan penampilan islami, menutup aurat dengan segala penampilan yang hiddent of body, berusaha menyembunyikan bentuk (maaf) lekuk-lekuk anatomi organ tubuh, bernuansa islami, menjauhkan dari syahwat/birahi bagi yang melihatnya.
Kedua : berbusana dengan penampilan ala berjilbab, dengan lebih mengutamakan pada performansi artistik semata. Lebih dominan menampilan nilai artistik (seni) mode busana dibanding mempertimbangkan nilai-nilai yang bernafaskan ajaran syariat agama (Islam). Penampilan pada mode ini lebih menutamakan penampilan yang cenderung memperlihatkan bentuk postur tubuh yang terbentuk dari mode busana yang dikenakannya, memberi daya tarik, daya rangsang dan nafsu/syahwat kepada orang yang melihat atau menikmati penampilannya. Karakteristik yang sangat dominan dalam busana ala berjilbab kedua ini sekarang banyak menjadi daya tarik tersendiri.
Walaupun tentu saja bagi mereka yng mengenakannya tidak bermaksud memberikan daya rangsang terhadap syahwat yang menjadi dampak bagi mereka yang melihatnya, tetapi disadari atau tidak sifat naluriyah manusia seperti itu sangat lazim dan normal-normal saja dalam hakekat kehidupan manusia. Membaca kata hati mereka dalam tataran kedua ini yakin masih mempertimbangkan nilai-nilai norma agama atau apapun yang diyakini yang ada hubungannya dengan nilai secara agamis.
Kenyataan yang kita saksikan sehari-hari adalah pemandangan “indah” (berdaya pesona), di banyak kampus di negara ini bahwa mahasiswi dengan busana baju ketat bertutup kepala, bercelana ketat berkaos ketat bertutup kepala dengan mode bahan busana yang dapat mengikuti setiap lekukan anatomi tubuhnya. Dalam mode lain berbaju longgar semisal mexi tetapi berskeng tinggi, atau panjang berumbai. Mode-mode ala kedua ini lebih bernuansa untuk memperlihatkan setiap bentuk anatomi tubuh wanita untuk dinikmati dalam pemandangan di setiap sudut lingkungan kampus yang konon sebagai sebuah milleu berwawasan wiyata mandala dan wawasan widyakrama seharusnya mempu menjadi cerminan dan tauladan dalam menanamkan nilai-nilai normalitas, mentalitas dan pendidikan yang terpancar setiap performansinya.

Sebagaimana dalam deskripsi yang telah dijabarkan di atas dapat menimbulkan berbagai permasalahan panjang. Untuk itu maka pembahas berorientasi pada :
1. Busana berjilbab, karakteristiknya ditinjau dari sisi busana muslimah
2. Busana berjilbab, karakteristiknya ditinjau dari seni mode
3. Faktor-faktor lahirnya fenomena busana berjilbab ala muslim dan ala mode di kampus
4. Alternatif upaya-upaya yang dapat ditempuh sebagai solusi untuk kembali meletakkan fungsi busana berjilbab yang mencerminkan insan muslimah
b. Rumusan Masalah :
Dari penjabaran di atas melahirkan berbagai masalah yang dipandang dari berbagai dimensi kepentingan. Untuk memusatkan pada pembahasan tulisan ini dtentukan rumusan masalah sebagai berikut :
1. Bagaimana karakteristik busana berjilbab ala muslimah ?
2. Bagaimana pula karakteristik busana berjilbab ala mode?
3. Apakah tendensi fenomena busana berjilbab ber-ala muslimah dan ber-ala mode di kalangan kampus ?
4. Alternatif upaya-upaya apa yang dapat dilakukan untuk mengembalikan pada nilai fungsi busana berjilbab pada nilai-nilai islami ?

c. Tujuan pembahasan
Berdasarkan rumusan masalah di atas pemahasan ini bertujuan untuk :
1. Merumuskan batas-batas karakteristik busana berjilbab dari dimensi ala muslimah
2. Merumuskan batas-batas karakteristik busana berjilbab dari dimensi mode
3. Tendensi fenomena busana berjilbab ber-ala muslimah dan ber-ala mode di kalangan kampus
4. Memberikan alternatif upaya-upaya apa yang dapat dilakukan untuk mengembalikan pada nilai fungsi busana berjilbab pada nilai-nilai islami

B. PEMBAHASAN
1. Karakteristik busana berjilbab dari dimensi ala muslimah
Ustadz Kholid Syamhudi, Lc. Dalam Hukum Cadar, Jilbab dan Hijab yang Dipublikasikan dalam www.muslimah.or.id memberikan pembahasan :
Pertama, wanita menutup wajahnya bukanlah sesuatu yang aneh di zaman kenabian. Karena hal itu dilakukan oleh ummahatul mukminin (para istri Rasulullah) dan sebagian para wanita sahabat. Sehingga merupakan sesuatu yang disyariatkan dan keutamaan.
Kedua, membuka wajah juga dilakukan oleh sebagian sahabiah. Bahkan hingga akhir masa kehidupan Nabi shallallahu ‘alaihin wa sallam, dan berlanjut pada perbuatan wanita-wanita pada zaman setelahnya.
Ketiga, seorang muslim tidak boleh merendahkan wanita yang menutup wajahnya dan tidak boleh menganggapnya berlebihan.
Keempat, dalil-dalil yang disebutkan para ulama yang mewajibkan cadar begitu kuat; menunjukkan kewajiban wanita untuk berhijab (menutupi diri dari laki-laki) dan berjilbab serta menutupi perhiasannya secara umum. Dalil-dalil yang disebutkan para ulama yang tidak mewajibkan cadar begitu kuat; menunjukkan bahwa wajah dan telapak tangan wanita bukan aurat yang harus ditutup.
Jika dilihat secara fisik, mode atau desain dari jilbab itu sendiri sangat, baik dari segi jenis, cara mengenakan, model, warna, dan seterusnya. Di jaman sekarang, dalam beberapa hal, jilbab juga sering bergeser menjadi suatu tren/mode yang tidak hanya dikenakan oleh perempuan muslimah, tetapi juga mereka-mereka yang belum seiman (baca: perempuan non-muslim). Berdasarkan apa yang saya pelajari dan saya dapatkan, dasar hukum jilbab adalah QS An Nuur 31. Mungkin banyak pula hadist yang meriwayatkan tentang jilbab. Namun mengingat kekuatan hukum Al-Qur’an dibandingkan hadist, maka referensi tentang hadist sedikit disampingkan dahulu. Dan, berikut kutipan QS An Nuur 31 tersebut:
                                                                             •     
31. Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka Menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah Menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak- budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. dan janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, Hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.
Ada beberapa poin penting yang tersurat maupun tersirat dari ayat tersebut. Beberapa di antaranya agak ”tricky” sehingga membutuhkan penalaran dan analisis yang logis untuk memahaminya. Karena memang seperti juga ayat-ayat lainnya, Allah ta’ala sengaja tidak membuka dan membeberkan segalanya secara gamblang serta terbuka untuk memancing penalaran dan pemikiran kita agar mampu menganalisis secara jernih dan cerdas. penting pertama ada pada kalimat, ”Hendaklah mereka menahan pandangannya.” Kalimat tersebut dapat dipahami secara jelas bahwa seorang wanita seharusnya bisa menjaga pandangan matanya. Seperti kita ketahui bersama, sorot mata atau pandangan dari seorang wanita dapat memberi maksud tertentu dan diartikan lain bagi lawan jenisnya. Hal itu dapat saja kemudian disalahgunakan atau mendorong pada hal-hal yang tidak diinginkan. Jadi sangatlah wajar bila Allah menghimbau agar para wanita menjaga dan menahan pandangannya. kedua terdapat pada kalimat, ”hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya.” Menurut asal usul sejarahnya, perempuan Arab kala itu mengenakan jenis pakaian yang relatif terbuka pada bagian (maaf) dadanya. Kita juga tahu bahwa laki-laki Arab (bahkan hingga kini) mempunyai nafsu seksual yang relatif besar dan menggebu-gebu. untuk menutupkan kain hingga ke dada dimaksudkan untuk tidak memancing nafsu laki-laki Arab kala itu sehingga hal-hal yang tidak diinginkan dapat dihindari. Bahkan, perempuan Arab kala itu juga disarankan untuk tidak bepergian ke luar rumah karena alasan tersebut. Kemudian, kalimat ”janganlah menampakkan perhiasannya” juga perlu mendapat perhatian. Kata ”perhiasan” yang dimaksud di sini adalah sesuatu yang dimiliki oleh seorang wanita dan dibanggakan. Perhiasan tersebut misalnya paras wajah yang cantik, mata yang indah, hidung, bibir, rambut, jari-jemari, pergelangan tangan, betis, (maaf) payudara, dan seterusnya. Perhiasan tersebut seharusnya dijaga dan dilindungi, kecuali pada orang-orang yang disebut pada kalimat selanjutnya. Sementara itu, titik kritis dari ayat tersebut ada pada kalimat, ”pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita)”. Jika pada kalimat sebelumnya disebutkan kata-kata suami, putera, ayah, saudara laki-laki, saudara perempuan, budak, atau anak-anak, mengapa kemudian Allah menyebut juga kata pelayan laki-laki yang relatif tidak mempunyai kedekatan atau hubungan darah dibandingkan dengan misalnya suami, putera, ayah, atau saudara laki-laki dan perempuan? Pada bagian ini, ”pelayan-pelayan laki-laki” sesungguhnya dapat merujuk pada suatu kaum, golongan, atau bangsa yang kaum laki-lakinya relatif menghargai dan menghormati kaum wanita, misalnya di negara-negara Eropa, atau juga di Indonesia. Di negara ini, relatif kaum laki-lakinya dapat menghargai wanita dengan baik, bersikap santun terhadap lawan jenis, dan tidak mengumbar nafsu seksualnya secara serampangan. harus dibedakan antara aurat untuk sholat (ibadah) dengan aurat untuk golongan (pergaulan). Aurat untuk sholat sudah dijabarkan secara jelas dan tidak perlu diulas di sini. Sementara aurat untuk golongan (pergaulan) adalah aurat sesuai dengan etika atau nilai yang dianut oleh golongan tersebut. Misalnya di Indonesia, saya menilai bahwa mengenakan pakaian menutupi dada, pusar, hingga lengan tangan dan lutut kaki relatif bisa dipandang sopan, wajar, dan menutup aurat. Tapi untuk kondisi di Arab, mengenakan pakaian semacam itu belum tentu ”aman”. Jadi, memakai jilbab itu wajib atau tidak? Hmm.. Saya sudah mencoba memberikan gambaran dan menjelaskan semampu saya. Saya yakin Anda mampu menyimpulkan sendiri secara bijak. Saya pribadi sih tidak menuntut (apalagi memaksakan) istri saya untuk berjilbab, walau hati saya lebih menyukai yang demikian. Tapi yang jelas, tidak mengenakan jilbab pun sesungguhnya tidak diharamkan. Justru memaksakan orang lain untuk berjilbab atau memusuhi mereka yang belum berjilbab itulah yang diharamkan. Hanya saja, mengenakan jilbab bagi seorang wanita bisa mengangkat martabat dirinya. Bagi dirinya sendiri, mengenakan jilbab juga bermanfaat sebagai sistem kontrol karena dirinya secara otomatis dituntut untuk bisa selalu menjaga sikap dan perilakunya secara Islami. Selain itu, laki-laki pun umumnya menjadi sungkan/segan untuk menjahili atau berbuat yang bukan-bukan pada wanita yang berjilbab, bukan?
Terkait dengan warna pakaian terutama pakaian perempuan, : Ustadz Aris Munandar memaparkan terdapat beragam sikap orang yang dapat kita jumpai. Ada yang beranggapan bahwa warna pakaian seorang perempuan muslimah itu harus hitam atau minimal warna yang cenderung gelap. Di sisi lain ada yang memiliki pandangan bahwa perempuan bebas memilih warna dan motif apa saja yang dia sukai. Sesungguhnya Allah itu maha indah dan mencintai keindahan, kata mereka beralasan. Manakah yang benar dari pendapat-pendapat ini jika ditimbang dengan aturan al-Qur’an dan sunnah shahihah yang merupakan suluh kita untuk menentukan pilihan dari berbagai pendapat yang kita jumpai?
Salah satu persyaratan pakaian muslimah yang syar’i adalah pakaian tersebut bukanlah perhiasan. Dalam syarat ini adalah firman Allah yang artinya, “Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya.” (QS. an Nur:31). Dengan redaksinya yang umum ayat ini mencakup larangan menggunakan pakaian luar jika pakaian tersebut berstatus “perhiasan” yang menarik pandangan laki-laki.
عن فَضَالَةُ بْنُ عُبَيْدٍ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ ثَلَاثَةٌ لَا تَسْأَلْ عَنْهُمْ رَجُلٌ فَارَقَ
الْجَمَاعَةَ وَعَصَى إِمَامَهُ وَمَاتَ عَاصِيًا وَأَمَةٌ أَوْ عَبْدٌ أَبَقَ
فَمَاتَ وَامْرَأَةٌ غَابَ عَنْهَا زَوْجُهَا قَدْ كَفَاهَا مُؤْنَةَ الدُّنْيَا
فَتَبَرَّجَتْ بَعْدَهُ فَلَا تَسْأَلْ عَنْهُمْ
Dari Fadhalah bin Ubaid, dari Nabi beliau bersabda, “Tiga jenis orang yang tidak perlu kau tanyakan (karena mereka adalah orang-orang yang binasa).
Pertama adalah orang yang meninggalkan jamaah kaum muslimin yang dipimpin oleh seorang muslim yang memiliki kekuasaan yang sah dan memilih untuk mendurhakai penguasa tersebut sehingga meninggal dalam kondisi durhaka kepada penguasanya.
Kedua adalah budak laki-laki atau perempuan yang kabur dari tuannya dan meninggal dalam keadaan demikian. Yang ketiga adalah seorang perempuan yang ditinggal pergi oleh suaminya padahal suaminya telah memenuhi segala kebutuhan duniawinya lalu ia bertabarruj setelah kepergian sang suami. Jangan pernah bertanya tentang mereka.” (HR Ahmad no 22817 dll, shahih. Lihat Fiqh Sunnah lin Nisa’, hal 387) Sedangkan tabarruj itu didefinisikan oleh para ulama’ dengan seorang perempuan yang menampakkan “perhiasan” dan daya tariknya serta segala sesuatu yang wajib ditutupi karena hal tersebut bisa membangkitkan birahi seorang laki-laki yang masih normal.
Di samping itu, maksud dari perintah berjilbab adalah menutupi segala sesuatu yang menjadi perhiasan (baca: daya tarik) seorang perempuan. Maka sungguh sangat aneh jika ternyata pakaian yang dikenakan tersebut malah menjadi daya tarik tersendiri. Sehingga fungsi pakaian tidak berjalan sebagaimana mestinya. Meski demikian anggapan sebagian perempuan multazimah (yang komitmen dengan aturan agama) bahwa seluruh pakaian yang tidak berwarna hitam adalah pakaian “perhiasan” adalah anggapan yang kurang tepat dengan menimbang dua alasan.
2. Karakteristik busana berjilbab dari dimensi mode
Mencermati Sabda Nabi, yang berhubungan dengan pakaian wanita sebagai perhiasan dijelaskan sebagai berikut :
“Wewangian seorang laki-laki adalah yang tidak jelas warnanya tapi nampak bau harumnya. Sedangkan wewangian perempuan adalah yang warnanya jelas namun baunya tidak begitu nampak.” (HR. Baihaqi dalam Syu’abul Iman no.7564 dll, hasan. Lihat Fiqh Sunnah lin Nisa’, hal. 387) Hadits ini mengisyaratkan bahwa adanya warna yang jelas bukanlah suatu hal yang terlarang secara mutlak bagi seorang perempuan muslimah. Yang kedua, para sahabiyah (sahabat Nabi yang perempuan) bisa memakai pakaian yang berwarna selain warna hitam. Bukti untuk hal tersebut adalah riwayat-riwayat berikut ini:
عَنْ عِكْرِمَةَ أَنَّ رِفَاعَةَ طَلَّقَ امْرَأَتَهُ فَتَزَوَّجَهَا عَبْدُ
الرَّحْمَنِ بْنُ الزَّبِيرِ الْقُرَظِيُّ قَالَتْ عَائِشَةُ وَعَلَيْهَا خِمَارٌ
أَخْضَرُ فَشَكَتْ إِلَيْهَا وَأَرَتْهَا خُضْرَةً بِجِلْدِهَا فَلَمَّا جَاءَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالنِّسَاءُ يَنْصُرُ
بَعْضُهُنَّ بَعْضًا قَالَتْ عَائِشَةُ مَا رَأَيْتُ مِثْلَ مَا يَلْقَى
الْمُؤْمِنَاتُ لَجِلْدُهَا أَشَدُّ خُضْرَةً مِنْ ثَوْبِهَا
Dari Ikrimah, Rifa’ah menceraikan istrinya yang kemudian dinikahi oleh Abdurrahman bin az Zubair. Aisyah mengatakan, “Bekas istri rifa’ah itu memiliki kerudung yang berwarna hijau. Perempuan tersebut mengadukan dan memperlihatkan kulitnya yang berwarna hijau. Ketika Rasulullah tiba, Aisyah mengatakan, Aku belum pernah melihat semisal yang dialami oleh perempuan mukminah ini. Sungguh kulitnya lebih hijau dari pada pakaiannya.” (HR. Bukhari no. 5377)
Dari Ummi Khalid binti Khalid, Nabi mendapatkan hadiah berupa pakaian berwarna hitam berukuran kecil. Nabi bersabda, “Menurut pendapat kalian siapakah yang paling tepat kuberikan pakaian ini kepadanya?” Para sahabat hanya terdiam seribu bahasa. Beliau lantas bersabda, “Bawa kemari Ummi Khalid (seorang anak kecil perempuan yang diberi kunyah Ummi Khalid)” Ummi Khalid dibawa ke hadapan Nabi sambil digendong. Nabi lantas mengambil pakaian tadi dengan tangannya lalu mengenakannya pada Ummi Khalid sambil mendoakannya, “Moga awet, moga awet.” Pakaian tersebut memiliki garis-garis hijau atau kuning. Nabi kemudian berkata, “Wahai Ummi khalid, ini pakaian yang cantik.” (HR. Bukhari no. 5823) Meski ketika itu Ummi Khalid belum balig namun Nabi tidak mungkin melatih dan membiasakan anak kecil untuk mengerjakan sebuah kemaksiatan. Sehingga hadits ini menunjukkan bolehnya seorang perempuan mengenakan pakaian berwarna hitam yang bercampur dengan garis-garis berwarna hijau atau kuning. Jadi pakaian tersebut tidak murni berwarna hitam. Dari al Qasim bin Muhammad bin Abi Bakr, “Sesungguhnya Aisyah memakai pakaian yang dicelup dengan ‘ushfur saat beliau berihram” (HR. Ibnu Abi Syaibah 8/372, dengan sanad yang shahih)
Pada tulisan yang lewat telah kita bahas bahwa yang dimaksud dengan celupan dengan ‘ushfur adalah celupan yang menghasilkan warna merah.
Perbuatan Aisyah sebagaimana dalam riwayat di atas menunjukkan bahwa seorang perempuan muslimah diperbolehkan memakai pakaian berwarna merah polos. Bahkan pakaian merah polos adalah pakaian khas bagi perempuan sebagaimana keterangan di edisi yang lewat. Berikut ini beberapa riwayat yang kuat dari salaf tentang hal ini: Dari Ibrahim an Nakha’i, bersama Alqamah dan al Aswad beliau menjumpai beberapa istri Nabi. beliau melihat para istri Nabi tersebut mengenakan pakaian berwarna merah. Dari Ibnu Abi Mulaikah, aku melihat Ummi Salamah mengenakan kain yang dicelup dengan ‘ushfur (baca: berwarna merah). Dari Hisyam dari Fathimah bin al Mundzir, sesungguhnya asma’ memakai pakaian yang dicelup dengan ‘ushfur (baca: berwarna merah) Dari Said bin Jubair, beliau melihat salah seorang istri Nabi yang thawaf mengelilingi Ka’bah sambil mengenakan pakaian yang dicelup dengan ‘ushfur (Baca: Berwarna merah). (Lihat Jilbab Mar’ah Muslimah karya al Albani hal. 122-123). Di samping itu riwayat-riwayat di atas juga menunjukkan bahwa pakaian berwarna merah tersebut dipakai di hadapan banyak orang. Singkat kata, yang dimaksud dengan pakaian yang menjadi “perhiasan” yang tidak boleh dipakai oleh seorang muslimah ketika keluar rumah adalah: Pakaian yang terdiri dari berbagai warna (Baca: Warna warni). Pakaian yang dihias dengan garis-garis berwarna keemasan atau berwarna perak yang menarik perhatian laki-laki yang masih normal. (Fiqh Sunnah lin Nisa’, hal. 388).
Al Alusi berkata, “Kemudian ketahuilah bahwa menurut kami termasuk “perhiasan” yang terlarang untuk dinampakkan adalah kelakuan mayoritas perempuan yang bergaya hidup mewah di masa kita saat ini yaitu pakaian yang melebihi kebutuhan untuk menutupi aurat ketika keluar dari rumah. Yaitu pakaian dari tenunan sutra terdiri dari beberapa warna (baca:warna-warni). Pada pakaian tersebut terdapat garis-garis berwarna keemasan atau berwarna perak yang membuat mata lelaki normal terbelalak. Menurut kami suami atau orang tua yang mengizinkan mereka keluar rumah dan berjalan di hadapan laki-laki yang bukan mahramnya dalam keadaan demikian itu disebabkan kurangnya rasa cemburu. Hal ini adalah kasus yang terjadi di mana-mana.” (Ruhul Ma’ani, 6/56, lihat Jilbab Mar’ah Muslimah, karya Al Albani hal. 121-122). Jika demikian keadaan di masa beliau, lalu apa yang bisa kita katakan tentang keadaan masa sekarang! Allahul Musta’an (Hanya kepada Allah kita memohon pertolongan).
Meskipun demikian, pakaian yang lebih dianjurkan adalah pakaian yang berwarna hitam atau cenderung gelap karena itu adalah: Pakaian yang sering dikenakan oleh para istri Nabi. Ketika Shafwan menjumpai Aisyah yang tertinggal dari rombongan, Shafwan melihat sosok hitam seorang yang sedang tidur. (HR. Bukhari dan Muslim) Hadits dari Aisyah yang menceritakan bahwa sesudah turunnya ayat hijab, para perempuan anshar keluar dari rumah-rumah mereka seakan-akan di kepala mereka terdapat burung gagak yang tentu berwarna hitam. (HR. Muslim)
Serba Serbi Seputar Warna Jilbab Putih Lajnah Daimah (Komite Fatwa Para Ulama’ Saudi) pernah mendapatkan pertanyaan sebagai berikut, “Apakah seorang perempuan diperbolehkan memakai pakaian ketat dan memakai pakaian berwarna putih?” Jawaban Lajnah Daimah,
“Seorang perempuan tidak diperbolehkan untuk menampakkan diri di hadapan laki-laki yang bukan mahramnya atau keluar ke jalan-jalan dan pusat perbelanjaan dalam keadaan memakai pakaian yang ketat, membentuk lekuk tubuh bagi orang yang memandangnya. Karena dengan pakaian tersebut, perempuan tadi seakan telanjang, memancing syahwat dan menjadi sebab timbulnya hal-hal yang berbahaya. Demikian pula, seorang perempuan tidak diperbolehkan memakai pakaian yang berwarna putih jika warna pakaian semisal itu di daerahnya merupakan ciri dan simbol laki-laki. Jika hal ini dilanggar berarti menyerupai laki-laki, suatu perbuatan yang dilaknat oleh Nabi.” (Fatawa al Mar’ah, 2/84, dikumpulkan oleh Muhammad Musnid).
Penjelasan di atas menunjukkan bahwa pada asalnya seorang perempuan diperbolehkan memakai pakaian yang berwarna putih asalkan cukup tebal sehingga tidak transparan/tembus pandang terutama ketika matahari bersinar cukup terik. Hukum ini bisa berubah jika di tempat tersebut pakaian berwarna putih merupakan ciri khas pakaian laki-laki maka terlarang karena menyerupai lawan jenis bukan karena warna putih. Oleh karena itu pandangan miring sebagian wanita multazimah (yang komitmen dengan syariat) di negeri kita terhadap wanita yang berwarna putih adalah pandangan yang tidak tepat karena di negeri kita pakaian berwarna putih bukanlah ciri khas pakaian laki-laki, bahkan sebaliknya menjadi ciri pakaian perempuan (Baca: Jilbab).
Pembahasan tentang salah satu yang terlarang untuk pakaian perempuan yaitu bukan perhiasan dan telah kita sebutkan dua kriteria untuk mengetahui hal tersebut. Tepatnya dari Syaikh Ali al Halabi, salah seorang ulama dari Yordania. Ketika beliau ditanya tentang parameter untuk menilai suatu pakaian itu pakaian perhiasan ataukah bukan bagi seorang perempuan, beliau katakan, “Parameter untuk menilai hal tersebut adalah ‘urf (aturan tidak tertulis dalam suatu masyarakat)” (Kutipan pada fatwa ‘ulama di Puncak, Bogor 14 Februari 2007 pukul 17:15).
Penjelasan beliau sangat tepat, karena dalam ilmu ushul fiqh terdapat suatu kaedah: “Pengertian dari istilah syar’i kita pahami sebagaimana penjelasan syariat. Jika tidak ada maka mengacu kepada penjelasan linguistik arab. Jika tetap tidak kita jumpai maka mengacu kepada pandangan masyarakat setempat (’urf).” Misal pengertian menghormati orang yang lebih tua. Definisi tentang hal ini tidak kita jumpai dalam syariat maupun dari sudut pandang bahasa Arab. Oleh karena itu dikembalikan kepada pandangan masyarakat setempat. Jika suatu perbuatan dinilai menghormati maka itulah penghormatan. Sebaliknya jika dinilai sebagai penghinaan maka statusnya adalah penghinaan. Hal serupa kita jumpai dalam pengertian pakaian perhiasan bagi seorang muslimah yang terlarang. Misal menurut pandangan masyarakat kita pakaian kuning atau merah polos bagi seorang perempuan yang dikenakan ketika keluar rumah adalah pakaian perhiasan maka itulah pakaian perhiasan yang terlarang. Akan tetapi di tempat atau masa yang berbeda pakaian dengan warna tersebut tidak dinilai sebagai pakaian perhiasan maka pada saat itu pakaian tersebut tidak dinilai sebagai pakaian perhiasan yang terlarang.
Dalam dekade derasnya arus teknologi informatika, komputer dan komuniasi elektronis yang sangat memprihatinkan banyaknya muncul situs-situs diinternet yang berkatagori asusila, seperti situs bugil berjilbab, cewek bugil dan jilbab sensual dan sebagainya yang semua itu lebih cenderung kepelanggaran pornografi, fotografi dan movie bernuansa pornografi. Hal ini yang meracuni dimensi kehidupan dan melunturkan nilai-nilai religius khususnya dalam mengemangkan situs busana muslim yang bernafaskan islamiyah
3. Tendensi fenomena busana berjilbab ber-ala muslimah dan ber-ala mode di kalangan kampus
Dari uraian dalil-dalil serta penjelasan ulama pada pembahasan sebelumnya, kita dapat melihat secara terbuka, bebas dalam pemandangan sehari-hari khususnya dalam pembahasan ini pengguna pakaian/busana berjilbab pada saat ini. Melihat dasar hukum yang telah dipaparkan di atas jelas telah terjadi suatu pergeseran nilai dan terdeformasi secara pragmatis dengan kepentingan kultur/budaya dan nilai matra seni visual yang berkembang secara bebas, individualistis, dan ber-esensi pada life-show.
Terlepas dari nilai yang berlandaskan kaidah-kaidah atau hukum apa dan dari manapun, tendensi busana berjilbab padakenyataannya yangberkembang sekarang lebih mengutamakan pada nilai-nilai kompositif, dominan dan sarat dengan dimensi keindahan, eksentrik, artistik.
Menyiinggung sedikit terhadap kehadiran mode busana berjilbab di kalangan kampus secara psikologis dapat disebabkan karena beberapa pesan psikologis diantaranya :
a. Dari tinjauan psikologi perkembangan usia mahasiswa adalah usia remaja memasuki persiapan dewasa awal, yang memiliki sifat lebih didominasi oleh pergaulan teman sebaya, berupaya tampil selalu bagus menurut pandangannya, menepis rasa malu pada penilaian kepribadiannya dari dimensi busana/penampilan(ego), tampil menarik pada lawan jenis (kencan), bernuansa dengan lambang-lambang kemegahan performance . Jika ber-ala muslimah berusaha tampil anggun, ber-aura dari dimensi busana, menjaga harga diri dari aurat berdasarkan syar’i (fiqh muslimah), membatasi ruang gerak dan pergaulan yang bebas, menjaga/mengamalkan syari’at ajaran islam.
Hadits nabi menjelaskan: “Pada dua hari raya, kami diperintahkan untuk mengeluarkan wanita-wanita haidh dan gadis-gadis pingitan untuk menghadiri jamaah kaum muslimin dan doa mereka. Tetapi wanita-wanita haidh menjauhi tempat shalat mereka”. Seorang wanita bertanya: “Wahai Rasulullah, seorang wanita di antara kami tidak memiliki jilbab (bolehkan dia keluar)?” Beliau menjawab: “Hendaklah kawannya meminjamkan jilbabnya untuk dipakai wanita tersebut.”” (HR. Bukhari dan Muslim) Hadits ini menunjukkan kebiasaan wanita sahabat keluar rumah memakai jilbab. Dan Rasulullah tidak mengizinkan wanita keluar rumah tanpa jilbab, walaupun dalam perkara yang diperintahkan agama. Maka hal ini menjadi dalil untuk menutupi diri. (Lihat Risalah Al Hijab, hal 15, karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin, penerbit Darul Qasim). Ibnu Hazm rahimahullah berkata, “Allah ta’ala memerintahkan para wanita menutupkan khimar (kerudung) pada belahan-belahan baju (dada dan lehernya), maka ini merupakan nash menutupi aurat, leher dan dada. Dalam firman Allah ini juga terdapat nash bolehnya membuka wajah, tidak mungkin selain itu.” (Al Muhalla III/216-217, Lihat Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah, hal. 73). Karena memang makna khimar (kerudung) adalah penutup kepala. Demikian diterangkan oleh para ulama, seperti tersebut dalam An Nihayah karya Imam Ibnul Atsir, Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim karya Al Hafizh Ibnu Katsir, Tafsir Fathu Al Qadir karya Asy Syaukani, dan lainnya. (Lihat Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah, hal. 72-73). “Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat. Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya.” (QS. An Nur: 30,31) Ayat ini menunjukkan bahwa pada diri wanita ada sesuatu yang terbuka dan mungkin untuk dilihat. Sehingga Allah memerintahkan untuk menahan pandangan dari wanita. Dan yang biasa nampak itu yaitu wajah dan kedua telapak tangan. (Lihat Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah, hal. 76,77). Semakna dengan ayat tersebut ialah hadits-hadits yang memerintahkan menahan pandangan dari wanita dan larangan mengulangi pandangan jika telah terlanjur memandang dengan tidak sengaja.
b. Dari paparan di atas dapat ditegaskan bahwa seorang perempuan :
1). tidak diperbolehkan untuk menampakkan diri di hadapan laki-laki yang bukan mahramnya atau keluar ke jalan-jalan dan pusat perbelanjaan dalam keadaan memakai pakaian yang ketat,
2). Mengenakan busana berjilbab tetapi busana yang dikenakan membentuk lekuk tubuh bagi orang yang memandangnya.
3). Perempuan yang berbusana dengan mempertunjukkan lekuk tubuhnya diidentikkan seakan telanjang
4). Pakaian ketat(walau berjilbab) dapat memancing syahwat dan menjadi sebab timbulnya hal-hal yang berbahaya.
5). Demikian pula, seorang perempuan tidak diperbolehkan memakai pakaian yang berwarna putih jika warna pakaian semisal itu di daerahnya merupakan ciri dan simbol laki-laki.
6). Jika melanggar busana dengan mengenakan pakaian menyerupai laki-laki (di Indonesia semisal bercelana), suatu perbuatan yang dilaknat oleh Nabi.” (Fatawa al Mar’ah, 2/84, dikumpulkan oleh Muhammad Musnid).
c. Orang seusia mahasiswa diidentikkan dengan klimaksnya ideologi dalam pola pikir sehingga ideologi dalam dimensi muslimah dan dimensi mode sedang dalam kondisi “mood”,”joyful ide” selah memunculkan “paling” seperti paling benar, paling baik, paling indah, paling hebat, paling handal dan paling-paling yang lain yang sesungguhnya itu merupakan implikasi ideologi tersebut.
4. Alternatif upaya-upaya apa yang dapat dilakukan untuk mengembalikan pada nilai fungsi busana berjilbab pada nilai-nilai islami
Memahami kondisi pruralitas dimensional ini menimbulkan dilema yang kontroversial. Satu sisi dalam dimensi sosio-kultural bahwa harus dipandang dengan kacamata derasnya perkembangan budaya yang tidak mungkin untuk dihindari, tetapi lebih diarahkan pada nilai-nilai kepribadian. Solusi pemahaman terhadap keluhuran budi dengan tidak memandang sebelah mata terhadap perkembangan psikologis manusia dan nilai-nilai yang berkembang pada hakikat seni mode, untuk selanjutnya diarahkan pada positivisme dalam performance berbusana tentu akan menghasilkan karya yang excellence. Contoh nyata :
b. perancangan mode dengan nuansa muslimah
c. penanaman nilai-nilai religius dalam men-desain mode busana
d. pendidikan mode bergaya pesantren
e. mencetak/memproduk desainer-desainer bernuansa religius yang sekarang mulai banyak berkembang di tanah air
f. membangun kerjasama yang sinergis dengan berbagai lembaga hukum khususnya hukum-hukum agama (ahli fiqh muslimah)
g. membuka ruang gerak pasar dalam men-generalisasikan hasil-hasil busana mode bernuansa islami(muslimah)
h. menanamkan nilai-nilai ukhrawiyah
i. menggunakan jasa stake holder yang ada semisal para aktris dan peraga-peraga busana untuk marketing, busana mode muslimah.
j. Bekerjasama dalammenyusun peraturan normatif dalam berbusana di kalangan kampus (PTAIN, PTAIS, UIN, UIS, STIT) khususnya kepada para mahasiswi
k. Penyuluhan di dalam studiumgeneral dalam kampus.

C. KESIMPULAN
Dari pembahasan pada bagian terdahulu dapat disimpulkan :
1. Batas-batas karakteristik busana berjilbab dari dimensi ala muslimah berdasarkan norma agama dalam Al Qur’an, Al Hadits, fatwa ulama’ telah diatur dan sesuai norma kepribadian muslim yang mengarah pada akhlakul karimah (kepribadian yang mulia)
2. Batas-batas karakteristik busana berjilbab dari dimensi mode, berkembang sesuai dengan derasnya perkembangan kebudayaan, dan cepatnya teknologi informatika dan komuniasi, melalui situs pornografi, banyak berkembang meracuni niali-nilai ajaran syar’i muslimah
3. Fenomenologi busana berjilbab ber-ala muslimah dan ber-ala mode di kalangan kampus, akibat dari lemahnya penyaringan baik secara eksplisit aturan yang lemah maupun kepribadian yang kurang menggunakan filter nilai-nilai religi normatif dalam kehidupan sosio-kulturalistis, kerancuan penerapan ideologi dalambatas instabilitas dalam insan agamis.
4. Aternatif upaya-upaya apa yang dapat dilakukan untuk mengembalikan pada nilai fungsi busana berjilbab pada nilai-nilai islami dengan peraturan/undang-undang, penanaman nilai-nilai hukum syar’iyah, networking dalamsosialisasi dan pembelajaran insan muslimah.












Rujukan :
Beranda Nusantara, Mancanegara, Ekonomi & Bisnis, Olahraga, Hiburan, Iptek, Warta , BumiArtikel 04/09/07 18:10

Copyright @2007-2008, JIlbab | Jilbab Cantik | Pakaian Muslimah | Busana Muslim
www.jilbabcantik.com

______________ 2000, e-psikologi.com. All rights reserved Situs ini didesain oleh e-psikologi.com.

Depag RI, 1994. Al Qur’an Al Karim . Surabaya : Pustaka Setia

Edisi Khusus Kantor Berita Common Ground (CGNews), 29 Januari 2008, www.commongroundnews.org. memperoleh hak cipta. Muslim-Yahudi – 2008
Hurlock,Elizabeth B.2006.Perkembangan Anak. Jakarta:Penerbit Erlangga

Mubin; Cahyadi,Ani.2006.Psikologi Perkembangan. Jakarta : Quantum Teaching.

Shaleh, Abdul Rahman. 2004.Psikologi:Suatu Pengantar dalam Perspektif Islam.Jakarta : Prenada Media Group.

Smashingmagazine. 2006. Muslimah.dalam Proudly powered . WordPress Ilustrasi

______________. 2006. muslimah. WordPress
Windradini, Soesilo. Psikologi Perkembangan Masa Remaja. Surabaya.:Usaha Nasional
Yusuf, Syamsu. 2004. Psikologi anak dan Remaja, Bandung:Remaja Rosdakarya

Zurich, Nueu; 2007.Pendidikan Moral dan Budi Pekerti dalam Perspektif Perubahan. Jakarta: Bumi Aksara